Standarisasi Fire Protection .

Jika ditelaah lebih jauh, banyak faktor terjadinya kebakaran. Bisa dari human error, arus pendek, kompor, sampai kurang memadainya perangkat pendukung kebakaran di gedung-gedung bertingkat. Karenanya, menurut Dosen Jurusan Arsitektur Univeristas Pelita Harapan, Manlian Manlian Adventus Simanjuntak, MT, perlu adanya fire protection sedini mungkin.

Menurut Manlian, begitu pria kelahiran Jakarta, 30 April 1974 ini biasa disapa, peristiwa kebakaran yang terjadi selama ini sebenarnya bukan hanya menjadi tanggung jawab Dinas Pemadam Kebakaran saja. Namun, sudah menjadi tanggung jawab bersama, baik itu dari instansi terkait maupun masyarakat. “Jadi, kita harus awareness of fire. Kalau pemahaman itu sudah tumbuh dengan baik di benak semua pihak, ketika terjadi kebakaran  tidak saling tuding-tudingan,kata Manlian.

 

Manlian menyadari, masalah kebakaran, khususnya di Jakarta, masih menjadi polemik. Misalnya masih ada pihak-pihak yang mempertanyakan persoalan penanggulangan kebakaran ini sebenarnya tugas siapa, kenapa orang membiarkan, dan sebagainya. Sebagai masyarakat yang hidup di negara berkembang, kata Manlian, wajar masih ada pemikiran seperti itu. Beda dengan pemikiran masyarakat di negara-negara maju. “Negara berkembang seperti Indonesia itu tolok pikirnya memang belum seperti negara-negara maju, kesadarannya masih kurang,kata peraih gelar Doktoral Bidang Ilmu Teknik Sipil Universitas Indonesia tahun 2001 ini.

 

Mengenai masalah kurang perhatiannya terhadap pencegahan bahaya kebakaran, kata  Manlian, kadang tak hanya terjadi di lingkungan perumahan padat penduduk. Di bangunan-bangunan permanen, seperti gedung bertingkat pun kadang masih kurang diperhatikan, seperti belum dilengkapinya perangkat pendukung kebakaran yang memadai. Kalau toh bangunan itu dilengkapi perangkat kebakaran, seumpama sprinkler atau alat kebakaran lainnya, kemampuan mereka untuk merawat tidak setinggi dan secanggih orang-orang di negara maju.

 

Lebih jauh Manlian menjelaskan, dalam soal pencegahan bahaya kebakaran di negara berkembang seperti di Indonesia mengenal tiga langkah pencegahan. Proteksi pertama, dengan menggunakan cara passive protection. Artinya bangunan itu mesti aman dulu dari bahaya kebakaran. Namun  itu merupakan bagian dari sistem pengamanan kebakaran secara total, yang namanya fire safety design. Jadi, bangunannya dulu yang masuk dalam kategori aman dari ancaman bahaya kebakaran.

 

Kedua, baru bangunan itu dilengkapi dengan alat dan sistem proteksi tambahan, yang disebut seperti sprinkler dan sarana pendukung lainnya. Langkah ini disebut active protection. Sedangkan ketiga adalah tipenya. Artinya, bagaimana masyarakat yang sudah mumpuni dan masyarakat sekitarnya itu safety to the fire. Dan semua komponen itu nantinya secara bersama-sama menjadi satu.

 

Selain ketiga langkah pencegahan kebekaran itu, tambah Manlian, yang tak kalah penting lagi adalah peran eksternal, yaitu pemerintah sebagai pembina. Karena kita punya peraturan bahwa pemerintah itu sebagai pembina. Jadi kalau dikaitkan dengan Dinas Kebakaran, instansi ini sebagai konselir sistem. Sebagai konselir, Dinas Kebakaran meningkatkan pemahaman ke berbagai pihak, kemudian membantu pemadaman, kata Manlian pula.

 

Meski bertugas memadamkan kebakaran, namun menurut Manlian, ini tentunya bukan membantu memadamkan secara total. Kenapa saya bilang membantu? Begini, ketika bangunan terbakar, identifikasi terbakar itu pertama dari penghuni beserta alat. Jadi penghuni sebenarnya sudah mengambil sikap pertama ketika bangunan terbakar. Tapi pengalaman yang sudah-sudah, ketika terjadi kebakaran, orang langsung lari keluar tidak melakukan apa-apa,imbuhnya. 

 

Selain itu, lanjut Manlian,  sadar tidak sadar, bangunan itu sebenarnya melakukan proteksi. Misalnya ketika terjadi kebakaran orang-orang keluar melalui tangga-tangga atau lift untuk memudahkan penyelamatan. Lalu dindingnya juga tahan terhadap api atau kompertemenisasi—yang dilengkapi sarana pembuangan asap yang secara otomatis.

 

“Jadi, secara tidak langsung bangunan itu sebenarnya sudah membantu tim Dinas Kebakaran. Baru setelah itu mereka mengirimkan signal ke Dinas Kebakaran secara otomatis untuk datang ke TKP. Jadi, itu dulu yang harus dipahami. Tidak bisa sepenuhnya terjadinya kebakaran itu disalahkan Dinas Kebakaran, tukasnya.             

 

Sebagai dosen, Manlian tak bosan-bosannya menyampaikan serta mengajarkan kepada para mahasiswanya, khususnya jurusan arsitektur, supaya mereka bisa mendesain bangunan itu supaya mampu mencegah dan mengantisipasi jika kebakaran. Desainnya itu, kata Manlian, bermacam-macam, misalnya, mengenai denah bangunannya. Kalau kita lihat fire scenario kebakaran itu terjadi dari satu room (ruangan). Dari situ merembet room to room in one floor (satu lantai), floor to floor one building, lalu building to building. Jadi memang mereka sudah merancang mulai dari ruangannya dulu, misalnya penempatan ruangannya beserta bahan-bahan dan alat-alat bangunannya,†terangnya.            

 

Dia menambahkan, Setelah itu, barulah dirancang tangga-tangga kebakaran, sampai  penempatan hidran. Jadi, mereka melengkapi dulu bangunannya setelah itu melengkapi bagian eksternalnya. Itu pun harus didesain juga bagian luarnya, misalnya membuat jalan-jalan untuk memudahkan Dinas Kebakaran sampai ke lokasi bangunan tersebut.

 

Manlian mencontohkan, dalam mendesain jalan, misalnya, untuk jalan dua arah, si perancang harus memikirkan ruang (jalan) untuk kendaraan Dinas Kebakaran. Jadi, kalau di kanan-kiri arus kendaraan sedang mobile atau padat, mobil Dinas Kebakaran itu masih bisa lewat di ruas tengah jalan tersebut. Karena itu, dia menyarankan untuk jalan dua arah, baiknya dibuat lima row. Sementara yang satu arah, baiknya tiga row.

 

Kalau ada pertanyaan, kenapa jalannya jadi lebar? Ya, memang harus begitu. Itu kalau memang kita dasarnya aware. Karena kalau fasilitas jalannya tidak baik, dampaknya kalau terjadi kebakaran bangunan itu akan habis dilalap api. Umumnya, fasilitas jalan yang kurang memadai itu berada di lingkungan yang padat penduduk,†kata dosen yang telah puluhan kali menjadi pembicara di seminar konstruksi bangunan permanen.

 

Standarisasi bangunan

Menyoal standarisasi bangunan, dari kaca mata Manlian, bangunan maupun fasilitas pendukung lainnya di Jakarta masih tertinggal dengan standarisasi di negara maju. Apalagi selama ini, untuk persoalan standarisasi, kita masih menggunakan pola perspektif B (performance B). Hal ini juga menjadi perhatian Manlian. Tak hanya itu. Dia bahkan sampai melakukan penelitian, karena menurutnya sudah banyak orang-orang yang terjebak dalam perspektif B. Bagi seorang arsitek, merancang bangunan itu harus pintar dan kreatif. Kalau semua sudah standar, lalu apa peran arsitek di sana? Standar dan peraturan yang ada dalam perspektif B memang tidak salah. Tapi, kemampuan dari perancangnya harus dengan performance. Di luar negeri, standar dan peraturan itu dengan metode performance, Tidak kaku, penyelesaian permasalahan dengan berbagai alternatif. Nah, tantangan perundang-undangan kita harusnya seperti itu, katanya panjang lebar.

 

Manlian memang tak berani bilang peraturan perundang-undangan kita kurang atau bahkan tidak baik. Sebab, kata Manlian, kita punya UU tentang Peraturan Gedung Nomor 28 tahun 2002 yang diilhami oleh UU Jasa Konstruksi Nomor 18 tahun 1999. Selain itu ada Perda Nomor 3 tahun 1992 serta Kepmen. Jadi semua ada perangkat peraturannya termasuk SLI-nya, misalnya untuk struktur bangunan, untuk tangga, dan sebagainya. Cuma, tandas Manlian, peraturan-peraturan itu tidak dibuat secara  sistematis, misalnya untuk bangunannya, objeknya, perancangnya dan seterusnya. Sementara di luar negeri pemahaman seperti itu sudah berkembang sangat pesat.       

 

Manlian menjelaskan, dalam soal merancang sebaiknya sesuai fungsi, dan penempatannya pun harus tepat. Jangan sampai karena ada standar kemudian menjadi kaku penempatan alat bantu kebakaran. Misalnya soal penempatan sprinkler. Manlian menekankan, Pokoknya dia (sprinkler) bisa melayani dan mematikan api sesuai kapasitasnya.  Namun mengenai penempatan bukan karena di atas atau di mana, tapi di lokasi yang memang riskan terhadap api. Kalau memang tidak mengandung bahaya api, tidak usah dipasang springkler.

 

Metode seperti itu dinamakan Manlian sebagai performance. Dalam permasalahan lain, seperti pemasangan detektor (alarm), kata Manlian,  mungkin bisa dipasang di mana saja. Sementara srinkler untuk optimasinya bisa dipasang pada daerah-daerah yang mengandung resiko.

 

Tapi itu semua, tandas Manlian, kembali lagi kepada manusianya. Karena, kalau pun bangunannya sudah dirancang tahan terhadap api serta dilengkapi proteksi yang baik, kalau orangnya ceroboh terus, ya kebakar juga.

Jika sudah terjadi kebakaran, ujung-ujungnya tentu diserahkan kepada petugas Dinas Kebakaran untuk membantu memadamkan api. Karena semua itu, ujar Manlian, masih terkait dalam satu sistem, yang dinamakan environment source system. Kalau saya lihat di beberapa negara, Dinas Kebakaran itu seperti tentara yang siap setiap waktu jika dibutuhkan tenaganya. Namun mereka dilengkapi fasilitas yang lengkap tak hanya saat bertugas tapi juga jaminan hidupnya. Jadi, ketika mereka bertugas merasa nyaman, kata Manlian seraya melakukan studi banding dengan petugas pemadam kebakaran di negara maju.

 

Dia menyarankan, harusnya petugas Dinas Kebakaran kita juga mendapat fasilitas lengkap seperti di negara-negara luar. Namun ini semua tentunya kembali lagi kepada pola pikir pemerintah untuk memperhatikan nasib petugas kebakaran kita. “Kami dari dunia pendidikan juga tetap menjalin kerjasama dengan Dinas Kebakaran. Kami misalnya membentuk suatu forum kepedulian terhadap bahaya kebakaran di bangunan untuk pendidikan. Sekarang malah sudah banyak bangunan untuk pendidikan yang dilengkapi perangkat kebakaran katanya, antusias. (FNI)